Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Waktu berlalu.
Dan urusan pemerintahan berubah cepat sekali.
Bukankah kehidupan di dunia ini hanya sesederhana itu.
Siang itu juga riuh pemilu menyuruh Kakak pulang kembali.
Namun ada pula,
Fanatik berlebihan.
Yang sedikit berbeda.
Hanya soal bagaimana mereka menunjukkan.
Beberapa memuji pejabat karena menepati janjinya.
Aku rasa, mengapa memuji pejabat karena janjinya.
Itu adalah janji mereka.
Tentu sebuah kewajiban bagi mereka.
Kemudian ada seseorang berkata padaku,
Kalian tidak perlu menunggu janji, tidak perlu.
Tertawa. Serombongan tertawa mendengar gurauan itu.
Kalau saja tidak ada yang memperhatikan. Aku akan membuatnya seperti kejadian Maxim Ratniuk dan Vadym Ursu.
Tentu saja ia tahu.
Pengucapan manusia-manusia itu sungguh menembus batas-batas akal sehat.
Aku mencintai negeriku.
Komentar
Posting Komentar