Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Dunia roman dan cinta.
Percintaan kali itu kau datang.
Aku bahagia.
Kalah menang.
Dan pikiran liar, adalah mengeja.
Berdiri menyusun---terkumpul di Amigdala.
Engkau tetap cinta.
Dan aku juga tetap cinta.
Bertangga di dunia cinta.
Mengapa cinta-cinta di taman hati.
Cintaku,
Kasih ini masih membutuhkan seribu generasi.
Untukmu. Dan untukku.
Dan aku. Menyusun percaya padamu:
Aku meminta cinta pada,
Kamu. Seperti aku yang tidak membacamu.
Aku dan dia hanya sejengkal rakit jingga.
Komentar
Posting Komentar