Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Disana di istananya.
Dengan berbagai bentuk wajah.
Dari solo sampai jakarta.
Di luar buah berwarna indah.
Tetapi siapa yang menyangka!
Raksasa negeri menerkam para kelinci.
Dan menjadikan seorang menjadi raja.
Hadir dengan sejuta kata orang mati.
Dan aku, tidak seperti dulu lagi.
Memihak pada perwira.
Yang setelah itu menghianati.
Coba katakan, siapa yang menerima?
Di gempur habis-habisan.
Satu—dua—tiga di tembaki.
Kini di rumah debat, dia malah berpidato sebuah kiasan.
Saya tidak takut, tidak mempunyai jabatan di negeri ini.
Bukankah menyenangkan?
Siapa yang gila di sini.
Aku yang terlalu bodoh dan menyayangkan.
Atau kamu, yang tidak melihat sebuah kebenaran.
Komentar
Posting Komentar