Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Kemudian datang surat kekasih yang bercap Washington:
Pembawa surat membawakan aku ke surat yang sudah aku kenal itu.
Sayang, Ramadhan, namanya juga menemaniku di studio.
Surat yang bercap Washington adalah yang paling terkenal saat itu.
Rasanya lama sekali, keinginan untuk bertemu belum kesampaian.
Ramadhan menjawab dengan surat pula.
Kehidupan berjalan terus tanpa Ramadhan.
Memang kekuatiran dan ketidaksehatian terhadap keinginan itu sudah berhasil bikin redup tuan-tuan anggota tubuh punya.
Aku buka surat.
Kemarin ia telah memberi surat berisi gaji.
Perempuan cantik. Tebal kulit.
Ya ampun, aku tidak yakin bagaimana harus menjawab. Hatiku telah dimasuki.
Hari ini umurku empat puluh.
Sudah dua puluh tahun tahun aku berhenti memercayai cerita ayah.
Ayah sibuk mengoceh betapa akbarnya kejahatan itu.
Dan aku benar. Cinta yang mengejutkan dataran hati enam bulan terakhir berhasil menaklukkanku.
Komentar
Posting Komentar