Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Demokrasi telah runtuh.
Dari solo ke jakarta.
Menjanjikan keluarga dan di terima utuh.
Oleh mahkamah kemuliaan negara.
Kemuliaan sebuah negara berasal dari kepala.
Kepala yang di pilih ekor,
Dan ekor yang di pilih kepala.
Atau tidak memiliki ekor.
Sungguh berat rasanya.
Punya negeri yang buta.
Tahukah kamu apa dampaknya?
Menerima seorang pelanggar menjadi wakil raja.
Jika kepemimpinan di republik.
Seperti keluarga dalam bilik.
Maka jangankan dihargai.
Masa depan nanti:
Keputusan.
Berasaskan.
Kekeluargaan.
Dan tinggal menunggu, negeri ini sampai menjadi kenangan.
Komentar
Posting Komentar