Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Aku mengendus surat ke hidung.
Setelah dibukanya lipatan kertas tadi.
Lalu diucapkannya terimakasih segunung.
Terimakasih bisa diibaratkan menarik busur; sedangkan sama-sama adalah saat melepaskan anak panah cinta murni.
Semangat seorang pecinta berada di puncak pada kiriman surat;
Tahu benar kecintaan dan independensi pecinta.
Meski dalam keadaan sakit berat.
Kesal yang didiamkan tidak ada.
Ia menulis alamat cintanya.
Membiayai kasih sayang.
Dia menunjukkan musim dan masanya.
Memiliki arti lebih besar dibandingkan.
Perhitungan-perhitungan rapi tentang analisis biaya.
Komentar
Posting Komentar