Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Aku lalui langkah dengan senyuman.
Tiada membusungkan dada, tersenyum gembira.
Ayoh! Kita adalah makhluk-makhluk yang diciptakan,
Dengan segumpal darah dan tanahnya.
Aku memang mahkamah bagi:
Diriku sendiri.
Tanpa rakyat dan wilayah bagi:
Negaraku sendiri.
Oh, negeri.
Darimu aku banyak mengetahui dari.
Penyesalan diri.
Aku yang berpura-pura tuli.
Hati berpura-pura buta.
Wahai para diri.
Bukankah kalian dijuluki oleh yang tak terprovokasi,
Sebagai makhluk mulia?
Komentar
Posting Komentar