Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Rasisme tidak akan lagi dipandang dalam bangsa.
Dan cukup berarti dalam pembangunan.
Jika mereka tidak dianggap sebagai laskar bersenjata.
Dimana perbedaan menjadi alat predator untuk melakukan penindakan.
Dengan agama.
Yang dapat mendidik manusia hanya dalam hitungan surat.
Ini adalah hal luar biasa.
Dengan cara mendengar dan melihat.
Mengundang si penjual dan si pengangkut kuli.
Semua orang di kota itu merasakan hasil pendidikan tersebut.
Segala sesuatunya dari:
Kejahatan yang kian menyurut.
Komentar
Posting Komentar