Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Muslimah sama sekali tidak ada tanda-tanda menampakkan sinarnya.
Dua pramugari bandara "Soetta" nampak menaikkan penumpang yang baru keluar dari bandara.
Yas, itu membuat aku pangkling.
Kedua matanya begitu berbinar. Wajah Asia Tenggara. Mulutnya menyungging.
Namun, terdapat gundukan pasir dengan mutiara.
Serius, sistematis, dan kaku.
Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam taqwa.
Mengesankan melihatnya menutupi seluruh tubuh dengan berbagai olok-olok masa lalu.
Obor-obor membuat ruangan terang benderang.
Di lingkungan gelap.
Kantong-kantong.
Terdapat secercah cahaya yang pelap.
Komentar
Posting Komentar