Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Jangan bersikap sombong padaku.
Jika tak mampu, menerima senyum dariku.
Jangan bersikap peduli padaku.
Jika tak mampu, menerima tatapan dariku.
Jangan bersikap mencari tahu tentangku.
Jika tak mampu, menerima kekurangan dariku.
Aku ini, sang Predator Ulung.
Seorang berdarah dingin.
Kupingku tak mudah berdengung.
Apalagi mengetahui apa yang kau ingin.
Andai kata-kata tentang.
Cinta di dalamnya.
Butuh waktu selama siang.
Dari malam ke suatu tempatnya.
Di hari menjadi semakin singkat.
Selama kamu berada disini.
Miliki jiwa menggugah dan memikat.
Rasanya, aku bisa selamanya disini.
Komentar
Posting Komentar