Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Elok hawa cantik yang amat subur.
Laut nan kaya membentang indah.
Diatasnya kapal-kapal berlayar.
Nan jauh di sana untukku merebah.
Dari mulai lahir sampai mengenangnya.
Aku tidak mampu meminangnya.
Oh! Sang Dara, kekasih para dewa ini.
Aku berpikir: senyuman inikah yang membuatku mati langkah sendiri.
Menyampaikan nafas yang sama.
Nafas dalam setiap hembusan.
Panjangkanlah usianya.
Dalam penuh kasih sayang dan perhatian.
Dia punya segalanya.
Selalu sopan dan bijaksana.
Memiliki segalanya di balik itu semua.
Burung-burung menyaji puja.
Yang menyeruak di seisi kota.
Sepotong kasih yang selalu,
melingkariku tiap waktu.
Komentar
Posting Komentar