Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Ada manusia biasa di rumah tersebut.
Berat perasaannya meninggalkan.
Kita manusia biasa, bukan malaikat.
Sosok yang berdiri atas perintah Tuhan di dalam keghaiban.
Aku berbasa-basi sejenak dengan wanita.
Padahal dalam hati,
Kesulitan menarik pintu pembicaraan yang terbelah dua.
Dan tak ingin mendengar lagi.
Karena cinta adalah kota besar.
Tentu saja apapun bisa terjadi.
Sumberku adalah seorang profesor.
Yang menghabiskan waktu 2 tahun di bidang psikologi.
Beliau menafsir beberapa waktu belakangan.
Kubaca satu barisan dengan merek global.
Aku mendekati profesor terang-terangan.
Mau menyuruh beliau tinggal.
Rencana-rencana strategisku telah digagalkan.
Selalu membuat lawan bicaranya menjadi ikut rasional.
Komentar
Posting Komentar