Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Dia melangkah meninggalkan kantin.
Di sejumlah kota besar di Eropa.
Cara ketawa dia lakukan.
Mengapa tidak ada?
Tiba-tiba saja menghilang.
Mendekati pertempuran dengan hati-hati.
Masa lampau yang gilang-gemilang.
Kota Makau yang gemerlap dipadati.
Di suatu sore biasa yang terwujud dalam tidur.
Awalnya, aku agak enggan.
Pengalaman baru yang getir.
Ucapan yang terkandung cukup mematikan.
Daripada pikiran lain yang mengusik angan-anganku.
Aku ingin mengucapkannya sepenuh hati.
Sudah ribuan kilometer saya tempuh dengan cinta itu.
Satu orang yang lagi berdiri.
Komentar
Posting Komentar