Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Rumah makan.
Mereka bilang setiap hari jumat ada nasi berkah yang dibagi-bagikan disini.
Mereka membungkusnya dengan koran.
Aku sangat tergoda untuk kembali.
Malam ini, setelah tiga bulan tidak bersama-sama temanku.
Memakan makanan enak.
Makanan negeri manapun, apapun rintangannya, apapun yang terjadi, demi perutku.
Kami semua mengangguk.
Walau diri yang hebat ini sudah memiliki julukan yang aneh selama bertahun-tahun.
Aku harus mengakui, misi ini adalah yang paling tidak biasa yang pernah aku hadapi sejauh ini.
Cepat atau lambat, aku harus belajar menghadapinya: Pemimpin, Pemburu Diskon, dan Orang Tulen.
Macam ukuran potongan teka-teki.
Berbisik pelan, menyeringai, menunjuk mata.
Itu adalah peninggalan makhluk ekstraterestrial.
Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya.
Antara trader dan model.
Jelas ini.
Dia adalah seorang pecinta makanan garis berat.
Lima bungkus nasi lagi!
Komentar
Posting Komentar