Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Berkorupsi dalam sepi.
Sehari di istana kepalaku pusing.
Karena si bedebah koruptor menutupi.
Hasil melepas, utang menjulang.
Aku hanyalah anak petani.
Cita-cita yang selalu diremehkan.
Di Oseania, di Afrika, Eropa, Amerika, sampai di Asia sini.
Mereka mendambakan, di sini kamj yang selalu disalahkan.
Sebodoh-bodohnya kami.
Tiada akan menerima nasib atas negeri yang berkembang ini.
Coba katakan, siapa yang disalahi?
Diriku yang selalu bekerja ini, atau pemimpin yang selalu mengerat ini?
Pemimpin berkata: Bekerja keras, dan bersikap baiklah.
Dengan begitu percayalah hal luar biasa pasti akan terjadi.
Aku, pria yang tangguh.
Bekerja di atas 12 jam sehari.
Kala semua pemimpin tertidur.
Aku sibuk mengaliri sawah yang berlumpur dan berair.
Haruskah para petani sawah ini yang menjadi komando?
Komentar
Posting Komentar