Alkisah, terdapat sebuah telaga berwarna di Pamulang. Telaga itu besar, cantik, menyejukkan. Karena aku selalu mengira-ngira lokasi, aku beranggapan bahwa telaga warna itu tidaklah nyata. “Anakku, telaga warna itu nyata. Kakek sendiri pernah melihatnya, di suatu tempat di dunia ini. Tidaklah semua yang terjadi adalah kebetulan, pasti ada sebab-akibatnya anakku... Kakek harap, kamu jangan pernah sekali-kali mencari dimanakah telaga warna berada. Meskipun telaga warna memiliki banyak harta karun di dalamnya, naga laut dengan sisik emas dan mutiara di tubuhnya, ikan dengan intan permata di matanya, bahkan kerikil-kerikil kecil yang berada di dasarnya adalah batu permata atau emas yang terbentuk selama ribuan tahun.” Kakekku berucap, aku mengernyitkan alis, tidak tahu. Kalau telaga warna itu nyata, mengapa sampai sekarang aku belum pernah mendengar tentang telaga warna sebelumnya, Atau secarik kertas mengenai telaga warna pun belum pernah kutemui, Atau informasi sekecil...
Aku mengembuskan napas kesal.
Karena aku belum paham.
Dia yang menggenggam pensil.
Tadi malam.
Terbingkai dalam sebuah bidang.
Wajah itu benar-benar terlintas.
Tiada kesedihan, hanya senang.
Membuatku menjadi kertas-kertas.
Pada waktu itu.
Dia meletakkan sabda revolusi.
Harus melewati jalan setapak yang terus menanjak dulu.
Jebakan yang dibuat untuk mengelabui.
Dengan jawaban yang menghembuskan napas pendek.
Kapal itu dia puluh tahun yang lalu sempat menjadi pergunjingan.
Juga para Kadek.
Sungguh jawaban yang menyakinkan.
Komentar
Posting Komentar