Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2024

5 Trik Agar Anak Tidak Bosan dengan Bekalnya, Cara Mengatasi Anak yang Sering Menolak Bekal dari Rumah

  Ilustrasi anak kecil yang memakan semangka (sumber: pixabay.com/users/jillwellington)  Membiasakan anak untuk membawa bekal ke sekolah adalah salah satu cara terbaik untuk memastikan asupan gizi mereka terpenuhi. Bekal yang disiapkan di rumah memungkinkan orangtua untuk mengontrol kualitas dan kandungan nutrisi makanan yang dikonsumsi anak, yang tentunya sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka. Namun, jika tidak disiapkan dengan benar, bekal dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti makanan yang basi atau terkontaminasi. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memperhatikan beberapa hal saat menyiapkan bekal anak agar tetap aman dan sehat dikonsumsi. Selain itu, memastikan anak mau membawa dan memakan bekal juga membutuhkan pendekatan yang kreatif dan penuh perhatian. Tidak semua anak antusias membawa bekal ke sekolah, seringkali karena mereka bosan dengan menu yang ituitu saja atau merasa tidak tertarik dengan penyajian makanannya. Dalam ha...

Puisi Politik: Rasisme

Rasisme tidak akan lagi dipandang dalam bangsa. Dan cukup berarti dalam pembangunan. Jika mereka tidak dianggap sebagai laskar bersenjata. Dimana perbedaan menjadi alat predator untuk melakukan penindakan. Dengan agama. Yang dapat mendidik manusia hanya dalam hitungan surat. Ini adalah hal luar biasa. Dengan cara mendengar dan melihat. Mengundang si penjual dan si pengangkut kuli. Semua orang di kota itu merasakan hasil pendidikan tersebut. Segala sesuatunya dari: Kejahatan yang kian menyurut.

Puisi Cinta: Sederhana

Peraturan dunia ini sederhana: Sewaktu muda, kesempatan besar datang lalu ambil. Yang muncul dalam mimpi-mimpi kecilnya. Dan setidaknya selama beberapa waktu, upaya itu berhasil. Dunia menjadi rumah dan selalu rumit. Menyusahkan dengan dunia. Tampak menahan emosi yang sulit. Tapi kini, untuk pertama. Mereka adalah penunggu setia. Selalu belajar. Turun dari tempat tidur dan memeriksa.  Sebagaimana kebanyakan terpelajar.

Puisi Ekspresionis: Cerita Ayah

Aku ingin tahu kelanjutan cerita ayah. Di depan rumah, ayah membuat tabel mirip buku besar. Setiap akhir penjelasannya, dia meneguk ludah. Di sebuah keluarga, ide-ide beredar. Ketukan-ketukan itu menghasilkan pantulan padat. Ayah benar-benar mengajarkan. Mendebarkan, kognisi padat. Dengan analog-analog mengejutkan.

Puisi Politik: Benang Revolusi

Aku mengembuskan napas kesal. Karena aku belum paham. Dia yang menggenggam pensil. Tadi malam. Terbingkai dalam sebuah bidang. Wajah itu benar-benar terlintas. Tiada kesedihan, hanya senang. Membuatku menjadi kertas-kertas. Pada waktu itu. Dia meletakkan sabda revolusi. Harus melewati jalan setapak yang terus menanjak dulu. Jebakan yang dibuat untuk mengelabui. Dengan jawaban yang menghembuskan napas pendek. Kapal itu dia puluh tahun yang lalu sempat menjadi pergunjingan. Juga para Kadek. Sungguh jawaban yang menyakinkan.

Puisi Ekspresionis: Cahaya Matahari

Kala itu, cahaya matahari menyapa kami di tempat yang berbeda. Seolah-olah ingin menunjukkan. Mendengarkan laporan-laporan bahwa. Telah dicanangkan. Itu juga jadi gangguan serius. Kenapa tidak? Cerita saja. Kita semua berkemas. Sehingga ketika kekasih datang, dia tidak sibuk apa-apa. Selesai sudah rencana itu. Di sebuah pernikahan besar. Secara otomatis saat mengenali wajahku. Kemudian disuruh belajar.

Puisi Politik: Negeri

Tak banyak yang kusaksikan di negeri ini. Aku sudah terbiasa dengan jebakan kekecewaan. Ia menawariku kesempatan atas perintah ini. Tetapi aku sudah menelintir jauh dari pembahasan. Bagaimanapun, hatiku merasa lengang. Di sebuah negara seseorang akan menjadi perintis sebuah dinasti baru. Ke suatu tempat yang lebih tenang. Antara dia dan milikmu. Perbedaannya seperti jarak sepenggal daratan Jawa. Bukan berarti mendentingkannya satu sama lain. Semua orang dapat bercerita. Terkadang aku malah menaklukkan harapan.

Puisi Cinta: Berdandan Cantik

Aku jadi sasaran empuk. Siapa yang tak mengenal cinta. Dia berdandan cantik. Menempel di tangan keduanya. Hari itu adalah hari bersejarah bagi pecinta. Meninggalkan orang itu sendiri. Pasrah apa pun yang akan dilakukan pada dirinya. Segerombolan makhluk yang disukai. Aku terkejut mendengar sebuah maklumat. Tak peduli bahkan seandai­ nya ia harus jadi pelacur. Dia bersuara dan dialah pemilik suara tersebut. Sementara aku lelaki kekar. Bagi orang pecinta. Rahasianya, tidak diputuskan untuk membuka dulu. Tampak mencintai di matanya. Rahasia sepanjang waktu.

Puisi Politik: Untukmu Negeri

Untuk mengubah semua value dari pemerintahan. Gunakan fungsi hukuman mati. Setelah proses hukuman mati diselesaikan. Dapat digolongkan menjadi-jadi. Sudah berapa tahun lebih. Koruptor sejahtera. Berpuluh-puluh. Triliunan jumlahnya. Aku telah memahami bahwa negara: Bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Tetapi, pihak yang mana? Untuk kelompok? Maka menjabatlah dengan indah. Temukan esensi menjabat. Daripada memperburuk masalah. Pernahkah kamu melihat dua pihak saling bertukar pendapat? Lakukanlah.

Puisi Politik: Aku Menemukanmu

Aku menemui kamu untuk menyampaikan pesan. Jumlahku mayoritas. Bagaimanapun aku selalu memperhitungkan. Pada tanggal tujuh belas. Aku berjalan sebentar. Melewati kantin-kantin. Dikunjungi akhir-akhir. Di dalam zaman. Angin kencang bertiup berhadapan. Semua situasi yang pasti dapat diubah menjadi keuntungan. Dalam proses demokrasi, penerusan, sepanjang kemandirian. Yang menjadikan pengepungan lebih menguntungkan.

Puisi Cinta: Intelijensi

Persoalan percintaan. Aku tak tahu harus berkata apa. Ini adalah kemandirian. Yang menjadi bagian terpadu dari hal yang berbeda. Definisi favoritku mengenai cinta. Adalah seseorang dengan kemampuan tinggi. Semua itu juga merupakan kriteria. Mereka harus melakukan inovasi. Bagi pecinta, intelijensi adalah inti. Yang harus diandalkan. Kerahkan ulang dan ditanggapi. Jika dia pergi ke medan pertempuran.

Puisi Ekspresionis: Metode Masukan

Lagi-lagi dia, jelas. Kesepian juga meliputi bangunan besar ini. Kini pembicaraan bingung menjadi serius. Hening. Tiba-tiba dia menatap lagi. Segala hal tentang percakapan ini memancarkan ketegangan dan kondisi bertahan. Aku melihat lencana tidak jelas. Sambutan publik sangatlah tidak menggembirakan. Bagaimanapun mereka bertekad dengan ringkas.

Puisi Eksperimental: Lelaki yang Berdagang

Aku menanyakan apa yang ingin aku beli. Aku tak ingin beli sirih, tetapi ingin beli mangga. Lelaki yang berdagang ini. Dan tentu saja. Menurut cerita mbah dulu. Senja yang sudah turun. Tak akan bisa keluar dari pintu. Tetapi tempo dulu ada pilihan lain. Memotong takdir yang melintang. Suatu kekonyolan yang mulai terkoreksi. Bongkar takdir tengah berlangsung. Memadukan pesona lama dan kemajuan masa kini. Penghubung mereka dengan nelayan modern. Jagat robot. Manusia tak berani keluar dari persembunyian. Sudah lewat masa ketat.

Puisi Cinta: Lampau

Dia melangkah meninggalkan kantin. Di sejumlah kota besar di Eropa. Cara ketawa dia lakukan. Mengapa tidak ada? Tiba-tiba saja menghilang. Mendekati pertempuran dengan hati-hati. Masa lampau yang gilang-gemilang. Kota Makau yang gemerlap dipadati. Di suatu sore biasa yang terwujud dalam tidur. Awalnya, aku agak enggan. Pengalaman baru yang getir. Ucapan yang terkandung cukup mematikan. Daripada pikiran lain yang mengusik angan-anganku. Aku ingin mengucapkannya sepenuh hati. Sudah ribuan kilometer saya tempuh dengan cinta itu. Satu orang yang lagi berdiri.

Puisi Komedi: Tentang Humor

Aku mengekplorasi lebih jauh. Humor lebih sekedar dari hiburan. Sedikit beraksen, berwibawa, tapi ramah. Seperti cahaya mengisi ruangan. Itu istilah halusnya. Inilah cara yang disukaiku. Mereka bagaikan hal yang berbeda. Membantu soal itu. Tapi, mencari humor tersebut tidaklah mudah. Humor adalah rumah keduanya. Dengan dinding-dinding keramik murah. Dia masih mampu bertahan selama bertahun-tahun, ucapnya. Bukan berarti humor adalah produk salah. Yang dibutuhkan dunia. Kau putuskan. Begitu pula humor yang diperbaiki dengan penuh kasih sayang. Itu membutuhkan waktu untuk cukup yakin. Ketika senja datang, dia tiba-tiba menghilang.

Puisi Cinta: Samudera

Mencintai adalah memberikan kacamata kita pada orang lain. Aku mempertimbangkan sesaat apa yang dikatakan hati. Banyak orang yang menganggap dirinya sedang melakukan pencarian. Ini hal paling sederhana di dunia ini. Siapapun bisa berlayar melintasi samudera seperti yang kau lakukan. Teman melihat dunia melalui mata seorang insinyur. Sama besarnya dengan kebutuhan. Berwatak sosial dan selera humor. Kami melangkah ke dalam penggerak pikiran. Berapa hati yang kau miliki? Yang dapat menghasilkan semburan. Pada setiap paragrafnya telah diisi.

Puisi Deskriptif: Kita Manusia Biasa

Ada manusia biasa di rumah tersebut. Berat perasaannya meninggalkan. Kita manusia biasa, bukan malaikat. Sosok yang berdiri atas perintah Tuhan di dalam keghaiban. Aku berbasa-basi sejenak dengan wanita. Padahal dalam hati, Kesulitan menarik pintu pembicaraan yang terbelah dua. Dan tak ingin mendengar lagi. Karena cinta adalah kota besar. Tentu saja apapun bisa terjadi. Sumberku adalah seorang profesor. Yang menghabiskan waktu 2 tahun di bidang psikologi. Beliau menafsir beberapa waktu belakangan. Kubaca satu barisan dengan merek global. Aku mendekati profesor terang-terangan. Mau menyuruh beliau tinggal. Rencana-rencana strategisku telah digagalkan. Selalu membuat lawan bicaranya menjadi ikut rasional.

Puisi Cinta: Cinta Semua Cinta

Semua cinta. Pada intinya, tidak ada garis lurus di dunia. Semuanya memutarnya. Para pecinta boleh bicara tentang apa saja. Beberapa cinta berdatangan kemudian. Penggerak hati yang tak terduga-duga. Juga menyumbangkan potongan penting bagi teka-teki percintaan. Lalu, biaya pemecahan itu juga memberi masa. Seluruh percintaan seperti itu. Pasti mengira ada segunung cinta. Dari semua pemandu. Lalu menempuh perjalanan panjang ke sana. Sebelum cinta terbesar yang pernah ada. Sekaligus. Lebih ekstrem dengan tamparan nyata. Hari itu seharusnya aku menjadi penulis. Mengaku sebagai pengagum cinta.

Puisi Deskriptif: Aku Tak Pernah

Aku tak mengira itu sebegitu kejinya hingga tak bisa bersuara lagi. Terbelalak melihat bentukmu yang memang mirip zombie. Dimana tempat kita berkumpul, berdiskusi. Tak peduli dengan pencapaian akademis. Ada serangkaian foto tentang siswa-siswi. Meski terasa segar dan manis. Teman, oh aku lega kamu kembali. Aku tak pernah tahu caranya saling mencintai. Menjawab datar. Mengangguk dengan berat hati. Dia bersandang pada karang besar. Sungguh tidak menempuh syarat: Boleh jadi demikian. Menjadi seorang sahabat. Tetapi bukankah itu penistaan? Hati tertutup salju. Mencakup tumpang tindih bergaya personil bersenjata. Ia bangkit berdiri dan mengangkat para serdadu. Dengan muka masih basah karena air mata.

Puisi Prosa: Logika Melahapku

Aku tak berani terlalu sering menoleh ke belakang. Aku semakin yakin bahwa tempat ini adalah sebuah ladang. Untuk jam-jam berikutnya aku tak punya keinginan untuk berbincang. Di dalam waktu, aku meluang. Aku juga tak bisa tidak bergerak. Sedang melihat apakah aku? Memikirkan berbuat sesuatu yang mengguncang dan terinjak-injak. Logika apapun akan digunakan demi menghidupkan penyangkalan itu. Menangani manusia yang karakternya melahap-lahap. Juga berapi-api. Di depan, suara manusia masih terdengar keras, menatap-natap. Manusia itu tentu bisa bervariasi.

Puisi Cinta: Sang Anak Cahaya

Teman adalah penjagaan. Ucapannya adalah pengorbanan. Cinta adalah keteguhan. Minatnya adalah kesepahaman. Ia menceritakan tentang betapa berat cintanya. Tetapi masih dengan setengah hati. Di belahan bumi lain yang sedang mengingatnya. Dia tidak peduli. Cinta. Kata itu memperdaya. Aku mendapati diriku menentang soal cinta. Tetapi apakah aku sungguh-sungguh tahu artinya? Dan tidak ada yang lebih kusukai ketimbang berbagi lumpia.

Puisi Ekspresionis: Aku dan Ombak Laut

Waktu laut mampir di permukaan pantai beberapa tahun ini. Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Dia melirik ombak yang berhenti mendaki. Ingatannya merekam kebersamaan keduanya. Tentang Aku dan Ombak. Seorang anak lelaki duduk di sebuah meja. Kenyataan itu mungkin akan terkuak. Ombak bukanlah manusia. Ombak, lihatlah kemari! Itu adalah percakapan tanpa pokok. Tanpa basa-basi. Pikirannya menggebrak. Anak lelaki melakukan percakapan singkat dengan sahabatnya, laut. Selalu ada yang disisakan laut selain ombak. Saat bulirnya yang dingin memaksa seorang anak kecil itu memacu kaki lebih cepat. Sang anak lalu mengangkat wajahnya yang sempat beberapa saat tertunduk. Dan dia hanya dapat mengucapkan kata-kata enteng yang berat dijabarkan: Tunggu aku, kawan!

Puisi Politik: Penduduk Tetapi Penduduk

Seorang penduduk bermain politik dengan pemimpinnya. Tetapi, mengalami kegagalan. Seorang wanita tersesat, bertanya: Teruslah berjalan! Memulihkan keriangannya. Pertanda buruk bagi yang bertahan. Sesungguhnya ini bermula. Ada secuil bangga hati, telah bergabung dalam barisan. Aku selalu tersenyum sendiri. Mengapa kau tak pernah berhenti mengkritik. Disekap seharian di ruangan pengap dengan perut yang hanya terisi. Menjadi mainan orang berusia tua yang masih kekanak-kanak.

Puisi Komedi: Pahlawan Perasaan Tak Terlupakan

Ini mulai menarik! Teruskan! Apakah aku salah? Aku takut menerima usulan. Meski itu tidak salah. Butuh cara sederhana untuk mengetahui tugas itu. Perasaan bahwa seseorang tidak berharga. Dimanakah perasaan yang paling dekat dari situ? Mencampakkan pikirannya melalui jendela. Tiba-tiba, ia menyendok sebatang pikiran.  Dengan berang ia memanggil perasaan kepala. Dia berpikir sejenak, kemudian: Dengan sentuhan halus saja. Engkau akan menerima medali. Ia menanyai setiap orang. Tolong katakan, di mana jalur lain jalan ini? Masukkan barang itu, dan berhenti berbaring!

Puisi Ekspresionis: Kuda di Dalam Besi

Di zaman kuda besi. Chip diadukannya otaknya pada. Dirinya pada manusia semakin di hati. Dialah, Robot, ketika mereka berleha-leha. Banyak kemiskinan belum terputus saja. Telah dibuatnya, pesaing yang lebih berat adanya. Kini, aku meringkih dalam jiwa. Menunggu keputusan dewan juri yang mulia. Sebuah benda mengerjakan ini. Terlalu sempit, buat meniru benda mati. Rasa tak sanggup manusia. Tak ada pada robotika.

Puisi Filosofis: Manusia Tidak Akan Pernah Terlambat

Di pelataran dunia nanti. Kami mengejar larinya silih berganti. Yang terbaik. Akan bercahaya dijubahi. Yang terburuk. Akan berdosa ditutupi. Maju---mundur berdesakan. Tiada waktu baginya saling berkenalan. Dahulu ada manusia yang begitu saling berbaikan. Namun, diakhiri dengan kejahatan.  Sungguh, kecewa jika pergi dengan harta. Pulang dengan noda di dada. Tidak memiliki manfaat. Terlebih lagi untuk dimakamkan ke dalam liang lahat.

Puisi Politik: Saudara dari Istana

Jabatan demi jabatan berhasil terbuat. Dari Solokarta ke suatu tempat. Baju jas resmi yang mereka kenakan. Mereka pamerkan kepada Tuhan. Tetapi mana ada? Kau pintar benar mencuri, tiada jejak tinggal terasa. Pekik di atas: Presiden Muda. Engkau tetap buta. Masih ingat bagaimana rasanya? Rasa dalam setiap tenggakan. Relawan turun dan memintal keadilan. Akhirnya mati, jika harus diterimanya. Kita bukan lagi si cilik tiada tahu jalan. Ini negaraku. Dibangun oleh para cendekiawan. Bukannya bergulat dibalik tutup botol yang berlaku.

Puisi Cinta: Potret Si Cantik

Dunia roman dan cinta. Percintaan kali itu kau datang. Aku bahagia. Kalah menang. Dan pikiran liar, adalah mengeja. Berdiri menyusun---terkumpul di Amigdala. Engkau tetap cinta. Dan aku juga tetap cinta. Bertangga di dunia cinta. Mengapa cinta-cinta di taman hati. Cintaku, Kasih ini masih membutuhkan seribu generasi. Untukmu. Dan untukku. Dan aku. Menyusun percaya padamu: Aku meminta cinta pada, Kamu. Seperti aku yang tidak membacamu. Aku dan dia hanya sejengkal rakit jingga.

Puisi Elegi: Mengintari Janji

Sungguh. Aku benar-benar memihakmu. Kecuali saat gerbang ditutup. Seperti dulu. Penghianatan Mata Hari. Di atas setumpuk informasi. Adakah kembali bantuan-bantuan? Jadi kado di usiamu yang matang. Mengukir janjian-janjian. Kemudian datang suruh dikenang. Janji tak sampai dan kesialan yang abadi. Bukankah setiap norma telah ditumbuhi luka? Sementara luka yang menyelimuti, Sebab ada penghianatan yang di masuki.

Puisi Satir: Petani Sawah

Berkorupsi dalam sepi. Sehari di istana kepalaku pusing. Karena si bedebah koruptor menutupi. Hasil melepas, utang menjulang. Aku hanyalah anak petani. Cita-cita yang selalu diremehkan. Di Oseania, di Afrika, Eropa, Amerika, sampai di Asia sini. Mereka mendambakan, di sini kamj yang selalu disalahkan. Sebodoh-bodohnya kami. Tiada akan menerima nasib atas negeri yang berkembang ini. Coba katakan, siapa yang disalahi? Diriku yang selalu bekerja ini, atau pemimpin yang selalu mengerat ini? Pemimpin berkata: Bekerja keras, dan bersikap baiklah. Dengan begitu percayalah hal luar biasa pasti akan terjadi. Aku, pria yang tangguh. Bekerja di atas 12 jam sehari. Kala semua pemimpin tertidur. Aku sibuk mengaliri sawah yang berlumpur dan berair. Haruskah para petani sawah ini yang menjadi komando?

Puisi Cinta: Sinar Mata

Telah berulang kali. Kami membuat sebuah janji. Keterpurukan tinggal nama saja. Mengikat-ngikat selama. Ini aku si pecinta. Yang senantiasa. Jadi pelita dalam hidupmu. Tapi adalah kepunyaanmu. Warisan cinta masa lalu. Mempertemukan kita. Lain lagi gerak pembenci dahulu. Kitab sesat dibawa kemari kesana. Dari sirat matamu terbayang cahaya. Semua cahaya kota. Kabarkan kepada mereka. Gemilang cahaya kota, tiada bisa mengalahkan panorama.

Puisi Ekspresionis: Provokasi Tuli

Aku lalui langkah dengan senyuman. Tiada membusungkan dada, tersenyum gembira. Ayoh! Kita adalah makhluk-makhluk yang diciptakan, Dengan segumpal darah dan tanahnya. Aku memang mahkamah bagi: Diriku sendiri. Tanpa rakyat dan wilayah bagi: Negaraku sendiri. Oh, negeri. Darimu aku banyak mengetahui dari. Penyesalan diri. Aku yang berpura-pura tuli. Hati berpura-pura buta. Wahai para diri. Bukankah kalian dijuluki oleh yang tak terprovokasi, Sebagai makhluk mulia?

Puisi Cinta: Cinta Membutuhkan Bantuan Sang Pencinta

Terimakasih untuk kenangan ini. Kamu yang memakai bunnie hitam. Menghempaskan segala hati. Aku bukan lagi si anak monyet, bukan lagi si anak yang menunggu surat berhasil terkirim. Angin. Kabarkan kepada dia. Andai dunia terbalik dan, Dikumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? Awal mula kecintaan kepada seonggok daging yang berjalan. Cantik, peluk aku dengan sayang. Percintaan, cinta kita. Sedang mendayu di hati yang matang.

Puisi Filosofis: Raih Kemenangan Terbaru

Dengan kabel yang menyentuh sepanjang. Jalanan berkuasanya internet. Juga potret kamera usang. Pergilah kemana kau suka. Sebab internet dibuat pergi oleh ARPANET. Menggantikan hewan burung di dalam angin. Di internet kukalungkan pesan-pesan buat si ibu. Banyak pesan terkumpul. Hiliran burung gagak tergantikan. Zaman rock dimulai, "Depending on You" Nikola Tesla. Sang penemu yang dermawan. Mengabdikan hidupnya pada penelitiannya. Tiada secuil pun dia mendapat sesuatu dari penemuan.   Zaman kuda besi. Dimana semua tergantikan oleh mesin. Demi kemerdekan liberti. Menggantikan semua kehebatan yang diceritakan. Oleh nenek moyangku.  Di masa dahulu.

Puisi Filosofis: Pemulung Tercepat

Lihat pada pengemis tiada lagi menengadah. Atau pemulung, tambah pengepul yang lalu. Ini negara berdaulat keselamatan terberkah. Yang kekal dan cepat berlalu. Langkah demi langkah kami terpenjara. Menengahi diantara kami. Demi kemerdekan para raja. Dan diamlah. Sampai tiada lagi penetrasi jiwa di sini.

Puisi Politik: Catatan Seorang Pejuang

Disana di istananya. Dengan berbagai bentuk wajah. Dari solo sampai jakarta. Di luar buah berwarna indah. Tetapi siapa yang menyangka! Raksasa negeri menerkam para kelinci. Dan menjadikan seorang menjadi raja. Hadir dengan sejuta kata orang mati. Dan aku, tidak seperti dulu lagi. Memihak pada perwira. Yang setelah itu menghianati. Coba katakan, siapa yang menerima? Di gempur habis-habisan. Satu—dua—tiga di tembaki. Kini di rumah debat, dia malah berpidato sebuah kiasan. Saya tidak takut, tidak mempunyai jabatan di negeri ini. Bukankah menyenangkan? Siapa yang gila di sini. Aku yang terlalu bodoh dan menyayangkan. Atau kamu, yang tidak melihat sebuah kebenaran.

Puisi Politik: Pengisi Suara

Demokrasi telah runtuh. Dari solo ke jakarta. Menjanjikan keluarga dan di terima utuh. Oleh mahkamah kemuliaan negara. Kemuliaan sebuah negara berasal dari kepala. Kepala yang di pilih ekor, Dan ekor yang di pilih kepala. Atau tidak memiliki ekor. Sungguh berat rasanya. Punya negeri yang buta. Tahukah kamu apa dampaknya? Menerima seorang pelanggar menjadi wakil raja. Jika kepemimpinan di republik. Seperti keluarga dalam bilik. Maka jangankan dihargai. Masa depan nanti:  Keputusan. Berasaskan. Kekeluargaan. Dan tinggal menunggu, negeri ini sampai menjadi kenangan.

Puisi Cinta: Tak Ada Cinta Lagi

Aku tidak bisa lagi tidur. Dunia mimpi sudah jauh lebih mengabur. Jikapun bisa masuk. Mampus aku dikoyak-koyak dalam mimpi. Memikirkan dia. Ia tersenyum. Sampai-sampai jantungku terhenti berlari. Sang Terkasih. Begitu panggilanku untuknya. Yang menyeruak di seisi langit mimpi. Aku minta pula sampai di surga. Adakah jauh percintaan ini? Aku menyebut satu nama cantik. Ia begitu sangat cantik. Dan dia yang memenuhi segala. Meski hanya secarik. Pesan kertas yang ditinggalnya. Entah berapa lama.  Kelana tidak berujung ini tamat. Tidak mendapat. Satu pun hikmat. Atau penerimaan yang di terima.

Puisi Ekspresionis: Mesin Baru

Mesin itu terlihat sangat lancar. Walaupun hanya sebuah benda tak bernyawa. Sekejap saja menjadi tempat manusia bersandar. Kamu ini benda macam apa. Siapakah yang membuat duniaku berjamur robot. Dalam besi dan chip kecil, Pekerjaan manusia akan segera direbut. Dunia menyiksa para rakyat kecil. Segala, semua gemar menggunakan kacamata. Berebut besi tanpa isi. Dan aku, menyusun percaya. Seperti kesetiaan matahari pada pagi.

Puisi Cinta: Cinta Menyaji Puja

Elok hawa cantik yang amat subur. Laut nan kaya membentang indah. Diatasnya kapal-kapal berlayar. Nan jauh di sana untukku merebah. Dari mulai lahir sampai mengenangnya. Aku tidak mampu meminangnya. Oh! Sang Dara, kekasih para dewa ini. Aku berpikir: senyuman inikah yang membuatku mati langkah sendiri. Menyampaikan nafas yang sama. Nafas dalam setiap hembusan. Panjangkanlah usianya. Dalam penuh kasih sayang dan perhatian. Dia punya segalanya. Selalu sopan dan bijaksana. Memiliki segalanya di balik itu semua. Burung-burung menyaji puja. Yang menyeruak di seisi kota. Sepotong kasih yang selalu, melingkariku tiap waktu.

Puisi Politik: Pilar Kebangsaan

Sebuah negeri bernama. Dari dinasti nusantara. Bermaklumat bahwa: Pemilihan sangat penting bagi negara. Orang yang mereka sayangi. Mereka cintai. Atau sekadar terpaksa harus ditemui karena; Perintah istana yang membuat terpaksa. Mana diantara ketiga penguasa yang dikaruniai hukum moral? Pihak mana yang memiliki pakar dan prajurit terlatih? Dalam pelaksanaan negara, yang melibatkan jutaan rakyat kecil. Maka lihat penguasa, apakah dia masih di bawah.

Puisi Naratif: Batu Safir

Aku tertegun menatap wajah itu. Aku melihatnya. Pelan dan berulang. Meskipun sakit, aku tak keberatan jika sang kasih menikahi saudaraku di rumah orang tuaku. Dia bermaksud meminangnya untuk suatu posisi strategis di marketing. Bagiku, mereka adalah pasangan yang luar biasa. One and only. Namanya lekat di jiwa. Hubungan tidak berdusta. Tidak terlihat sekali. Aku diam sejenak. Hanya dia yang sedikit memiliki penjelasan. Ada murid dari kelas lain yang bilang kami berdua dipanggil guru BK. Sudah enam bulan. Dia mengeluarkan listrik. Penuh memikatku. Bahkan hewan pun terpana. Melihat keanggunan putri salju. Sejak aku mengenalnya: Anak menarik dari kelas sepuluh. Miss Fathi menuntunku duduk di sofa. Seiring waktu, aku mendengar dia telah menikah.

Puisi Perang: Jejak Kaca

Perpindahan besar. Mengenal lebih dekat  Pertempuran besar. Mereka takut. Manusia memeluk pundaknya untuk kesekian kalinya. Memperhatikan kerusakan. Kami berusaha mencari kemana-mana. Sebenarnya mereka cemas sekali, ketakutan. Sejak hari itu mereka kembali keharibaan. Sibuk dengan pribadi yang rusak di dunia. Ada banyak bongkahan tubuh yang berserakan. Buku tulis biasa itu sekarang berubah menjadi buku tua. Dalam kondisi darurat, manusia bisa menggunakan segala cara dari akal kepada manusia. Tanpa diminta dua kali, manusia sudah berdiri memeluk harta. Neraka berapi itu menjadi lenggang. Sebelum sampai dikabulkan sejak dibacakan sejarah panjang.

Puisi Politik: Kapal Asing

Kapal asing telah berlayar mewah. Kepergiannya laksana cangkang muda direbut dari induk. Menurut ayah barang itu sangat murah. Berliannya saja dari kira-kira dua truk. Berlayar dalam, lancar penuh siasat, dan menggagahkan seperti Dewata. Negara asing ini berada sejauh separuh dunia kita. Sejauh pikiran dapat menjangkaunya. Merajalela tanpa proses semuanya. Dalam negeriku, baru seumur jagung. Dengan cepat kalimat itu menggelembung dan membiak diri. Sebenarnya, aku agak tersinggung. Siapa pemilik negeri, Dengan berjuta mata memandang. Kecantikannya memang memukau. Di tengah-tengah krisis ini dia tampak agung. Tetapi rasanya ada parasit bermain dalam negeriku. Hingga pompaan jantung. Terhenti di aliran diri.

Puisi Ekspresionis: Penambang

Sejauh pikiran dapat menjangkaunya. Merajalela yang tanpa proses apapun. Mana yang menemuinya. Itu juga --- obsidian. Penuh kemarukan. Penuh keegoisan. Lupakan, Lebih baik aku ceritakan: Rakyat hanya merampok kuburan. Setelah pengerukan dibuka pekerjaan dimari. Memberi suatu yang memuntahkan nurani dalam hati. Mengeruk segera. Lalu tinggalkan tanpa proses setara.

Puisi Cinta: Surat dari Washington

Kemudian datang surat kekasih yang bercap Washington: Pembawa surat membawakan aku ke surat yang sudah aku kenal itu. Sayang, Ramadhan, namanya juga menemaniku di studio. Surat yang bercap Washington adalah yang paling terkenal saat itu. Rasanya lama sekali, keinginan untuk bertemu belum kesampaian. Ramadhan menjawab dengan surat pula. Kehidupan berjalan terus tanpa Ramadhan. Memang kekuatiran dan ketidaksehatian terhadap keinginan itu sudah berhasil bikin redup tuan-tuan anggota tubuh punya. Aku buka surat. Kemarin ia telah memberi surat berisi gaji. Perempuan cantik. Tebal kulit. Ya ampun, aku tidak yakin bagaimana harus menjawab. Hatiku telah dimasuki. Hari ini umurku empat puluh. Sudah dua puluh tahun tahun aku berhenti memercayai cerita ayah. Ayah sibuk mengoceh betapa akbarnya kejahatan itu. Dan aku benar. Cinta yang mengejutkan dataran hati enam bulan terakhir berhasil menaklukkanku.

Puisi Cinta: Sang Kekasih

Sang kekasih pergi. Juga dibawah bulan purnama biru pula. Dia mempengaruhi bulan purnama supaya tak membikin cahaya-cahaya lagi. Dimana-mana nampak kulit gelerlapan bermain dengan sinar rembulan disana. Awan-awan meniup sejadinya. Sang kasih telah mendahului. Begitu sampai ke gerbang perbatasan kota. Awan bilang: bulan tidak boleh berkinang, biar kamu tetap putih gemerlapan. Beruntung aku melihat seorang cahaya seperti dirimu ini.

Puisi Ekspresionis: Tuntutan Kepercayaan

Aku lebih mempercayai orang gila. Tanpa mengetuk pintu akal pikiranku. Orang gila itu nampak kosong tanpa akalnya. Ia hanya seorang manusia yang tulus. Ucapannya sesuai dengan keadaan itu. Dan manusia, dibawah kekuasaan angan-angan kosong. Ia pegang kesombongannya. Kepala meninggi ke atas. Ia tak berderma. Husy! Bukan karena aku memberikan keterangan tentang: Mengandung perasaan manusia-manusia. Periksa, bahwa orang gila yang menerbitkan segala ketulusan. Pernahkah kamu mendapati dia memperistri kebohongannya? Atau, orang gila masih ditutupi kemanipulasian? Dia bukan berasal dari sang empu berpikir. Namun ketulusannya benar adanya.

Puisi Cinta: Kelas di Tepi Lorong

Dia tiba di depan. Aku menahan napas, Tak sempat bicara lain-lain. Benar-benar awal yang bagus. Aku memperhatikan kondisi. Aku jelas tahu jawabannya. Persis di depan sana dia sedang menyelidiki. Dia selalu santai menjawab kecemasanku terhadapnya. Sepertinya aku lebih menyedihkan di posisi sekarang. Dia mengusap wajahnya. Kelas di tepi lorong kembali lengang. Ini pasti membutuhkan waktu yang lebih lama. Tentu saja, mau. Pikirnya. Halusinasi ini begitu kuat. Akhirnya, dia memutuskan untuk tidak menerimanya. Ucapannya bergerak sangat cepat. Adalah sebuah cinta, Amour nama lainnya. Menurut cerita orang tua-tua: Petarung adalah orang yang cinta dan taat benar pada kekalahannya.

Puisi Politik: Kebijakan

Waktu berlalu. Dan urusan pemerintahan berubah cepat sekali. Bukankah kehidupan di dunia ini hanya sesederhana itu. Siang itu juga riuh pemilu menyuruh Kakak pulang kembali. Namun ada pula, Fanatik berlebihan. Yang sedikit berbeda. Hanya soal bagaimana mereka menunjukkan. Beberapa memuji pejabat karena menepati janjinya. Aku rasa, mengapa memuji pejabat karena janjinya. Itu adalah janji mereka. Tentu sebuah kewajiban bagi mereka. Kemudian ada seseorang berkata padaku, Kalian tidak perlu menunggu janji, tidak perlu. Tertawa. Serombongan tertawa mendengar gurauan itu. Kalau saja tidak ada yang memperhatikan. Aku akan membuatnya seperti kejadian Maxim Ratniuk dan Vadym Ursu. Tentu saja ia tahu. Pengucapan manusia-manusia itu sungguh menembus batas-batas akal sehat. Aku mencintai negeriku.

Puisi Cinta: Pucuk Pecinta

Aku mengendus surat ke hidung. Setelah dibukanya lipatan kertas tadi. Lalu diucapkannya terimakasih segunung. Terimakasih bisa diibaratkan menarik busur; sedangkan sama-sama adalah saat melepaskan anak panah cinta murni. Semangat seorang pecinta berada di puncak pada kiriman surat; Tahu benar kecintaan dan independensi pecinta. Meski dalam keadaan sakit berat. Kesal yang didiamkan tidak ada. Ia menulis alamat cintanya. Membiayai kasih sayang. Dia menunjukkan musim dan masanya. Memiliki arti lebih besar dibandingkan. Perhitungan-perhitungan rapi tentang analisis biaya.

Puisi Cinta: Panglima Pertahanan

Pada tahun 2022. Sang kasih pertama kali bertemu dengan seseorang yang begitu aneh. Kami berdua pun beradu mata. Akhirnya aku kalah, mataku melemah. Di tahun 2023. Sang kasih menyatakan cinta pertama kali. Kepadaku, yang aku tahu sekali jawabannya. Selanjutnya, dalam cinta yang menggunakan kasih sayang, tentu aku melihat mutiara di atas kursi. Aku menjadi kungfu panda. Menjadi lebih kaku, sungkan, entah mau menjawab apa. Waktu yang krusial, sekitar tiga detik lamanya. Ini merupakan metode pertahanan dengan cinta melalui proses yang cukup lama. Diam adalah benteng pertahanan pecinta. Jika kekuatan penuh, dia bisa mendeklarasikan perang. Tanpa mengetahui fakta bahwa raga tidak bisa melaksanakannya. Dan dia akan terhalau untuk menang. Dalam melakukan peraturan pecinta. Hal terbaik untuk dilakukan adalah menyembunyikannya. Dalam perang panglima menerima perintah dari raja. Aku beradaptasi, menyembunyikan 

Puisi Agama: Karma dan Petaka

Waktu itu mengirim pesan. Dengan jelas; karena itulah digunakan karma dan petaka. Marilah kesalahan-kesalahan itu kita jadikan bahan renungan.  Inilah seni menguasai dalam manusia. Sepanjang Rhine hingga Laut Merah. Aku selalu menjadi orang paling berdosa sedunia. Tidak ada alat penghitung mentah-mentah. Atau kepunyaan koleksi idolanya. Aku bangga sekali dengan kegigihanku. Tentu saja, meski gara-gara kegigihan ini aku sering diolok-olok. Kuterangkan sekedarnya tentang apa yang pernah kudengar dan kutanggapi sendiri atas sebuah cerita itu. Semua mata tertuju padaku.  Kesombongannya hanya sebatas ujung rokok. Coba katakan, apa salahnya tentang kegigihannya? Apa mereka tidak menyesal telah menyebar kebodohan ke seseorang? Betapa manusia memuji dia.

Puisi Satir: Di Sebuah Tempat, di Dalam Rumah Makan 2024

Rumah makan. Mereka bilang setiap hari jumat ada nasi berkah yang dibagi-bagikan disini. Mereka membungkusnya dengan koran. Aku sangat tergoda untuk kembali. Malam ini, setelah tiga bulan tidak bersama-sama temanku. Memakan makanan enak. Makanan negeri manapun, apapun rintangannya, apapun yang terjadi, demi perutku. Kami semua mengangguk. Walau diri yang hebat ini sudah memiliki julukan yang aneh selama bertahun-tahun. Aku harus mengakui, misi ini adalah yang paling tidak biasa yang pernah aku hadapi sejauh ini. Cepat atau lambat, aku harus belajar menghadapinya: Pemimpin, Pemburu Diskon, dan Orang Tulen. Macam ukuran potongan teka-teki. Berbisik pelan, menyeringai, menunjuk mata. Itu adalah peninggalan makhluk ekstraterestrial. Mereka menggeleng-gelengkan kepalanya. Antara trader dan model. Jelas ini. Dia adalah seorang pecinta makanan garis berat. Lima bungkus nasi lagi!

Puisi Politik: Permukaan Kulit Batu

Sang senator tengah melantunkan pidatonya. Sanggahannya seperti mutlak. Sulit ditembus panah api meski apinya membara. Segala berjalan sesuai rencana yang layak. Musuhnya itu meliuk-liuk pidato seperti dedemit dimarahi raja hantu saja. Tak membuang tempo. Segera dia keluarkan segenap daya suara yang dimiliki secara habis-habisan untuk mengakhirinya. Meski terkadang teknik ini dianggap kuno. Tapi aku tak tahan di kandang mendidih berbau busuk ini. Mata anak kecil berkaca-kaca, melihat senator berjual-beli serangan. Mereka sedang memunggungi. Suara mereka mengisi ruangan. Mereka mencatat itu dalam bukunya. Debat yang menohok itu sangat membuat aku tidak nyaman. Karena aku itu tak mengerti pidatonya. Pernyataan anak berumur 5 tahun.

Puisi Ekspresionis: Mozaik Sekolah

Aku termangu-mangu di lapangan sekolahku. Ia berada di pusat lapangan. Siswa-siswi berlarian, makhluk berjalan kaki, guru, juga hewan melintas, membuat kami lebih termangu-mangu. Kami menjawab pertanyaan-pertanyaan. Pemimpin bilang, semuanya kena bersiap. Belakangan aku paham konsep peraturan baris berbaris pada PASKIBRA. Semakin aku tumbuh semakin aku melahap. Aku melakukan perlahan dan lalu hafal berkelebat begitu saja. Aku maju perlahan menjauhi pohon dan melipir ke teras. Untung saja kami serempak dan sopan. Dalam sekilas: Begitu banyak siswa-siswi dan paskibraka yang wara-wiri di lapangan.

Puisi Eksperimental: Teknologi Blockchain

Di seri segala listrik. Mulai diadopsi banyak orang. Makin semakin populer dan dilirik. Disarankan penggunaan oleh para ahli atau pengembang. Modifikasi dari lapisan yang lebih atas. Cenderung konvensional dalam mengadopsi produk baru. Menyimpan satu atau lebih nilai-nilai di dalam satu atau multidimensi langsung secara gratis. Pengolahan citra, kecerdasan buatan, basis data, pemrograman, dan lebih mudah dijangkau. Juga tugas instalasi, konfigurasi yang relatif mudah, dan penjelajahan secara sederhana. Yang dapat digunakan di berbagai mesin. Tiada memiliki keterbatasan, dan seterusnya. Diluar masalah ini, terus dikembangkan.

Puisi Komedi: Pemburu

Jika hari ini Jumat. Maka diperkenanlah untuk nasi berkah. Jika kita ingin mendapatkan salah satu makanan, maka dapat ditambahkan paket. Ulangi terus-menerus langkah demi langkah sampai keseluruhan record penuh. Jika anda belum memiliki pengalaman, maka anda dapat mencoba beberapa keahlian gratis yang disediakan di internet. Juga memburu makanan melalui hari Jumat bukanlah hal yang baru. Sebelum kita dapat mengakses keahlian di dalam internet, terlebih dahulu kita harus melakukan koneksi ke internet. Pada contoh berikut, kita mencoba membuat tabel biodata intelijen nasi jumat, dengan tiga field, nama_awal, nama_akhir, dan usiamu.

Puisi Deskriptif: Pada Sebuah Pemrograman PHP

Pada sistem pemrograman. Pemeriksaan kondisi apakah isi pemrograman sesuai syarat yang ditentukan. Program menampilkan form pilihan nilai dengan bahasa pemrograman. Atau program untuk menampilkan nama terfavorit sesuai dengan inputan. Untuk mendeklarasikan atau mendefinisikan sebuah nilai. Juga pengurutan array berdasarkan value secara ascending dengan mengubah index/key. Bisa menggunakan keyword yang menurutnya sesuai. Atau mengupload file yang telah dipilih melalui form pada program ke folder temporary. PHP Array, dapat digolongkan menjadi 3 tipe: Memiliki banyak kekuatan fungsi yang terdapat padanya. PHP Embedded, PHP Server-Side Scripting, dan PHP Command Line Interface. Dan menerapkan penggunaan fungsi secara sederhana.

Puisi Satir: Tanggapan

Aku ingat pembicaraanku dengan sang profesor. Kita akan mati berkali-kali. Seseorang di sampingku yang jarang mengeluarkan komentar. Jika kekuasaannya belum di revisi. Merupakan contoh penggunaan kekuasaan yang tidak etis. Coba jalankan salah satu program kekuasaan seperti: Program makan siang dan susu gratis. Program yang digunakan sebagai tempat untuk kelam dan terbit berbagai. Demikian. Tanggapan dari Ahli Manajemen.

Puisi Alam: Bulan

Moon. Penerbit dan penerang yang ikhlas. Mengaisi kelam dengan sinarnya yang meremah. Tiada mematikan, apalagi memanas. Selalu dinantikan, seperti guratan lilin di tengah mati lampu rumah. Adalah bulan yang melukiskan rata-rata pergerakan harga angin dalam periode waktu tertentu. Indikator ombak. Pemecah angin ganas yang tiada menentu. Namun ini tidak tampak. Pola kelanjutan yang terbentuk akibat fluktuasi bulan yang semakin lama semakin berputar. Volume umumnya semakin menipis seiring pergerakan bulan yang juga berfluktuasi. Hal ini tetap menunjukkan sinyal dan diatur.

Puisi Eksperimental: Pasak atau Baji

Saya tidak percaya diri. Bagaimana caranya agar saya pandai berbicara dengan perempuan? Pada zaman persaingan seperti ini. Kita selalu diajarkan untuk mengutarakan pendapat dibalik alasan. Jika aku lebih banyak tahu daripada peramal. Mata adalah jendela hati. Tapi aku tidak dapat membentuk kombinasi yang sempuma. Jokes terlihat sangat nyaman, penuh percaya diri, dan natural. Saya bemimpi untuk mencintai, dan bagaimana saya harus memiliki.

Puisi Filosofis: Dari Orang Biasa

Di dekat rumah kami, ada rel kereta api. Memiliki impian maupun cita-cita. Tidak pernah terlihat bahwa kehidupan akan lebih terpuji. Pertanyaan yang mengandung ketertarikan seperti ini akan muncul dengan sendirinya. Reaksi akan hal ini akan langsung tampak. Berpikir akan lebih efektif dengan menunjuk bagian kehidupan tertentu. Misalnya: tubuh anda seperti tengkorak! Sebab kekayaan tidak akan mengalir dengan semudah itu. Orang biasa tidak pernah dituntut untuk memiliki selera yang menoniol seperti sultan. Sedikit menyalahi tahta kaya. Karena seperti mendapat dukungan. Fungsi positif rayuannya. Kehidupan adalah menyentuh perasaan. Berbicara dengan persuasif. Hal yang saya tekankan. Tidak sedang mempertimbangkan alternatif.

Puisi Deskriptif: Zirah Kulit

Dalam membentuk formasi cinta. Menguji level-level tersebut. Harga menyatakan harus berhasil menembus di atas formasinya. Cara pertama yang lebih moderat. Dalam siklus cinta tersebut terlihat. Formasi-formasi tersebut sebenarnya ghaib. Tidak boleh menembus support. Selama bab demi bab. Ini adalah keputusan universal. Diawali tatapan bulat. Pengenalan formasi tampak yang kecil. Di balik baju zirah kulit.

Puisi Filosofis: Antara Akal dan Logika

Akal dan berdasarkan fakta mungkin diabaikan. Bergantung pada apakah mempercayai logika atau tidak. Ketidakstabilan tanpa mempertimbangkan. Akal merupakan pertarungan kehendak: Negosiasi adalah proses tawar-menawar terus menerus hingga mencapai kesepakatan. Dengan menunjukkan kemampuan yang terbaik. Penawaran, akan mengalah demi segera mendapat jawaban. Berbeda seratus delapan puluh derajat. Sedang logika, itu menyalahi hukum penawaran. Pertimbangkan dengan baik apakah cara ini diperlukan atau tidak.

Puisi Eksperimental: Penyiar Lepas

Aku sama lemahnya dari yang terlemah. Tidak mempunyai otoritas. Untuk mencairkan lelah. Kehilangan penyiar lepas. Saya akan tetap meminta upah. Dalam prinsip kantong bercelana jeans. Tegak mengubah. Lantas mereka akan bertepuk tangan antusias. Kata orang. Kisah yang kuat memerlukan plot yang kuat. Tapi aku mengembang. Lantas hal tersebut. Individu lainnya dapat tersinggung. Kewajiban untuk menjaga etiket.

Puisi Politik: Negeri Cinta

Sekarang amati diri masing-masing. Perbaharui perangkat diri (termasuk hati nurani) secara otomatis. Kita tidak dapat mempercayai seseorang. Walau mengetahui kelebihan dan kekurangan dari setiap jenis. Perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan. Sama halnya dengan perlindungan hak privasi di dunia maya. Dunia ini memang penuh dengan kengerian,  Di semua negeri cinta. Aku adalah individu yang memanfaatkan teknologi. Untuk membangun pertemanan. Bekerja, dan berekreasi. Dan membuat pilihan.

Puisi Deskriptif: Interconnected Network

Ibukota Indonesia adalah Jakarta. Untuk mengintegrasikan teknologi digital ke dalam proses belajar. Dunia pendidikan telah mencoba. Dalam dunia nyata kita membangun pagar. Di balik manfaat teknologi. Terdapat sekelebat ancaman. Dengan memahami potensi informasi. Dalam menggunakan internet dengan aman. Internet merupakan akronim dari: Interconnected Network. Penjual dan pembeli perlu menyadari. Selain berpotensi merugikan kesehatan fisik, Gunakan sosial media dengan hati-hati. Jangan membagikan informasi pribadi kepada publik. Sekonyong-konyongnya, Dari kumbang es di Antartika. Hingga gagak Jepang di Osaka. Berbagilah dengan hati-hati dalam profil Anda.

Puisi Politik: Adam dan Korupsi

Jerit kami. Energi kami. Usia kami. Darah kami. Ilmu kami. Dalam lari. Dada yang tak tertahan lagi. Isak dendam yang terpendam. Dari kelam ke malam. Pemimpin ini: Sungguh besar baiknya. Menerka korupsi tak terkira. Yang benar adanya. Meluluskan segala cara. Dalam gelap gulita malam. Dana yang tercuri. Melebihi besarnya kekayaan Adam. Adakah yang sejauh ini?

Puisi Ekspresionis: Cinta, Berdasarkan Teori Konspirasi

Jangan bersikap sombong padaku. Jika tak mampu, menerima senyum dariku. Jangan bersikap peduli padaku. Jika tak mampu, menerima tatapan dariku. Jangan bersikap mencari tahu tentangku. Jika tak mampu, menerima kekurangan dariku. Aku ini, sang Predator Ulung. Seorang berdarah dingin. Kupingku tak mudah berdengung. Apalagi mengetahui apa yang kau ingin. Andai kata-kata tentang. Cinta di dalamnya. Butuh waktu selama siang. Dari malam ke suatu tempatnya. Di hari menjadi semakin singkat. Selama kamu berada disini. Miliki jiwa menggugah dan memikat. Rasanya, aku bisa selamanya disini.

Puisi Cinta: Terlihat Merah Ranum

Muslimah sama sekali tidak ada tanda-tanda menampakkan sinarnya. Dua pramugari bandara "Soetta" nampak menaikkan penumpang yang baru keluar dari bandara. Yas, itu membuat aku pangkling. Kedua matanya begitu berbinar. Wajah Asia Tenggara. Mulutnya menyungging. Namun, terdapat gundukan pasir dengan mutiara. Serius, sistematis, dan kaku. Hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam taqwa. Mengesankan melihatnya menutupi seluruh tubuh dengan berbagai olok-olok masa lalu. Obor-obor membuat ruangan terang benderang.  Di lingkungan gelap. Kantong-kantong. Terdapat secercah cahaya yang pelap.

Puisi Agama: Koin-Koin Emas

Antara. Keping-keping emas di dada. Dan ditunjukan dengan pasti dimana. Maka, apa arti seribu nyawa. Dalam dunia yang penuh masa. Tumpang-tindih berdosa. Menebar darma kejahatan di tengah kehidupan. Maaf, kenapa kamu tetap buta? Hingga waktu mengharuskannya kembali ke haribaan. Maka. Lampu pualam yang menyala terang. Atau, nyala api yang membakar. Mengantrilah kamu seorang-seorang. Hingga terpenyet seperti kumbang. Bisikan itu berubah menjadi teriakan yang sangar di neraka. Hanya satu jangka. Menyambut kesakitan yang tertunda. Entah berapa lama. Hidup---mati terus bernyawa.

Puisi Politik: Republik Berbalut Kerajaan

Dalam negeri berlandaskan rakyat ini. Dalam negeri yang berkembang ini. Coba katakan, dimana letak demokrasi? Mementingkan kepentingan diri sendiri. Berbuat sesuka hati. Bak Kerajaan dalam Republik. Contoh pengertian yang tertanam dalam bilik. Pada pemimpin: aku menjumpai mereka dengan perut yang buncit. Pada tanah: aku menjumpai mereka dengan tercipta sebuah lubang dari langit. Lewat puisi aku berkata. Inilah isyarat kehormatan bangsa. Pemimpin ini sungguh mulia. Usai melanggar dan tersenyum terpercaya.

Puisi Agama: Tanah yang Putus Asa

Jadilah seperti rakyat jelata. Menebarkan sejuta kebahagiaan tanpa harus pamer kekayaannya. Jadilah seperti rakyat jelata. Yang selalu bersyukur di manapun dia berada. Senyuman itu terlihat sangat lancar. Kegelapan-kegelapan di hati telah sepi. Walaupun hidup bersabar. Bagaikan rumpunan-rumpunan teka-teki. Coba katakan, apa bedanya miskin dan kaya? Di tanah yang putus asa. Tidak ada gunanya menyelamatkan hidup mereka. Dan tetap patuh, sekalipun dia terjebak dalam bahaya.

Puisi Filosofis: Nelayan di Dermaga

Di tengah ramainya nada penjual ikan berkumandang. Nelayan terbadai dari tangkapannya. Ada kata-kata tentang. Baju necis kaku miliknya. Susunan kata itu: Kulantunkan saat bertemu dengan nelayan kampung. Dan kecupan di atas sekian buku. Sungguh, wajah masammu terbenam bayang-bayang. Sendal berjalan di atas lautan kabut. Bertelanjang dada, berkulit hitam, berwajah tua. Mengabaikan maut! Menuju panas-dingin cuaca. Tarik, pancing terus! Hembusan angin mengiringi. Tak ada satupun yang bisa. mendengarkan. Jerit lelah kami. Oh, indahnya negeriku ini.

Puisi Ekspresionis: Ibnu Batuta

Kini kuhadir dengan kesedihan yang terurai dan kesenangan yang terhampar, tanpa mampu menyuarakan semangat. Aku, seperti Ibn Battuta, merantau dalam kegelapan. Aku mencari waktu yang tak terbatas, sama seperti pasir yang meluncur di antara jari-jari. Mari kita buat janji, alam pikiranku bersumpah untuk mengubahnya. Sudah cukup lama aku mendengarmu, terpanggang oleh hatimu, dan digarami oleh akalmu, entah di mana aku dihidangkan.

Puisi Prosa: Teori Kesenjangan

Takdir bukanlah sesuatu yang muncul dari legenda. Tapi itu cara berpikir yang tidak berperasaan. Oke, tapi masih ada. Membanggakan kemalangan. Benar sekalipun. Apakah mereka memanfaatkannya. Ya. Teori itu adalah teori kesenjangan. Apa maksudku persisnya? Manusia terus-menerus memilih gaya berpikir mereka. Berpikir nomaden. Aku bahkan mengklaim ingin terlahir sebagai orang yang berbeda. Tidak. Tidakkah kau mengerti bahwa itu benar-benar kengerian? Lantas, darimana itu berasal? Ini terjadi karena insiden masa lalu mereka. Menjelaskan berbagai hal. Aha.

Puisi Deskriptif: Aku Suka Heran

Punya sesuatu untuk disampaikan? Aku. Tentu aku punya. Persatuan bangsa merupakan syarat yang mutlak bagi kejayaan. Inilah integrasi bangsa. Kita juga wajib ikut serta dalam menjaga. Yang menurut wujud ke dalam. Terdiri dari daerah air dengan ribuan pulau-pulau di dalamnya. Dapat menyampaikan pertanyaan di muka umum.  Bahasa Indonesia sangat penting sebagai alat komunikasi.  Tentu saja orang-orang akan memerhatikannya. Tidak usah peduli. Anggaplah sebagai makhluk tak kasat mata. Aku heran dengan pidato comedi. Setelah memahami batasan anekdot. Aku menjadi tak heran lagi. Inilah kehidupan, pengaruhnya kuat.