Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2024

5 Trik Agar Anak Tidak Bosan dengan Bekalnya, Cara Mengatasi Anak yang Sering Menolak Bekal dari Rumah

  Ilustrasi anak kecil yang memakan semangka (sumber: pixabay.com/users/jillwellington)  Membiasakan anak untuk membawa bekal ke sekolah adalah salah satu cara terbaik untuk memastikan asupan gizi mereka terpenuhi. Bekal yang disiapkan di rumah memungkinkan orangtua untuk mengontrol kualitas dan kandungan nutrisi makanan yang dikonsumsi anak, yang tentunya sangat penting untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan mereka. Namun, jika tidak disiapkan dengan benar, bekal dapat menimbulkan risiko kesehatan, seperti makanan yang basi atau terkontaminasi. Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk memperhatikan beberapa hal saat menyiapkan bekal anak agar tetap aman dan sehat dikonsumsi. Selain itu, memastikan anak mau membawa dan memakan bekal juga membutuhkan pendekatan yang kreatif dan penuh perhatian. Tidak semua anak antusias membawa bekal ke sekolah, seringkali karena mereka bosan dengan menu yang ituitu saja atau merasa tidak tertarik dengan penyajian makanannya. Dalam ha...

Puisi Cinta: Tersenyum

Aku hanya ingin membuatnya tersenyum. Aku yang masih bersemangat tentunya. Sebelum. Bayang-bayang kuda yang terus-menerus menghantuinya. Di sudut bibir yang tersungging. Dan aku gembira. Tak lebih dari seorang maling. Cinta yang amat mencintai sesungguhnya. Manusia senang di temani. Harus cepat-cepat menentukan pilihan. Tetap tertunduk di kursi. Memutuskan untuk membakar perasaan.

Puisi Ekspresionis: Ketika Aku Berjemur

Beginilah mimpiku. Dan aku gembira sekali. Semua kalimat itu. Dengan petunjuk terperinci. Laut pasang malam. Dan surut pagi. Karena tubuh itu telah remuk redam. Di depan pabrik peci aku berhenti. Seperti buaya terjemur. Tiba-tiba sudah merekat. Dan tidur. Di buka sampulnya lalu di lipat.

Puisi Ekspresionis: Bulan Memeluk Matahari

Di rumah keluarga besar ayah. Datanglah kiriman itu. Aku terlatih untuk tidak patah. Pelan-pelan aku tahu. Aku sakit dan sedih sekali. Sebuah pernyataan. Berempati. Untuk urusan. Paling tidak, lama setelah itu. Seperti anjing jinak yang manja. Di gubuk bobrok dekat situ. Lebih lama lagi.

Puisi Ekspresionis: Matahari

Hal baru. Sejauh ini, inilah yang terjadi. Bicara pun tidak mampu. Penari tak menari. Antara memang ada muatan. Tapi ia tak berdaya. Ini bukan hikayat atau roman. Pohon kayu berwarna. Melihat suatu kecenderungan. Tertinggal berlutut di atas pasir. Melangkah menuju ruangan. Matahari terbenam saat kami terusir.

Puisi Ekspresionis: Kehilangan

Mau ke mana diriku kini? Aku mendongak. Dan dipasang lagi. Misalkan awak. Bahkan raja segala raja. Tahu bagaimana cara menyembunyikan piramida itu. Semakin kecil sebuah kota. Yang takut menghadapi kenyataan itu. Aku yakin akan ada cara. Ke mana pun Kau masukkan faks itu. Ruang yang lebih sederhana. Yang menempel pada batu itu.

Puisi Eksperimental: Tempat Duduk Kosong

Tinggalkan semuanya tepat seperti ketika kau masuk. Cobalah untuk memusatkan penglihatannya yang kabur. Rasa terbakar itu mengaduk. Memang pilihan pertamanya menjadi bubur. Aku harus menemukannya. Aku sendiri telah kehilangan kepercayaan diri. Berlari-lari kecil menuju angkasa. Sambil menghadapi fakta ini. Para petarung hanya akan mendapatkan hasil rata-ratanya. Karena, tanpa menunggu izin. Para pemenang akan mendapatkan skor tertingginya. Karena, menggunakan izin.

Puisi Cinta: Manusia Cinta

Berkilau-kilau semakin ramah. Tak perlu dia sendiri. Setelah berubah. Aku tak jadi melajang dan kembali. Aku adalah seorang laki-laki kurus, berambut putih. Tak lebih dari kardus yang telah koyak. Sulit mengumpulkan benih-benih. Yang telah acak. Tiba-tiba sang kekasih yang ramah. Cinta itu sangat besar. Sudah empat puluh tahun alkisah. Pohon yang terlalu banyak akar.

Puisi Filosofis: Masa Muda

Aku melihat foto-foto diriku. Siswa sekolah dasar berjalan hilir-mudik. Rendahkanlah hatimu. Itu telah berada di suatu titik. Layar tablet yang berkedip hijau. Pesan masuk: Pak, kapan kita akan pulang? Sungguh masa-masa yang menyilau. Kita berlatih lagi, nanti kita menang. Katakanlah aku membeli komputer berlapis emas. Mungkin waktu menerima masa depan bukan kembali. Waktu itu tidak berbekas. Yang bisa kau gunakan lagi.

Puisi Ekspresionis: Sebungkus!

Begitu mengerikan. Bungkusan daun pisang terikat tali. Di bawah pepohonan. Dia adalah semangkok nasi. Bungkusan daun pisang yang terikat tali. Bukan hanya mengenakkan masakan. Kombinasi antara unsur praktis dan alami ini. Apa sebutannya kalau bukan kelezatan? Sekarang tidak ada lagi soal pencemaran. Lebih aman rasanya. Ini sedang kusiratkan. Sampah alami mudah terurai dimana-mana. Jadi, itulah yang diakibatkan. Bumi yang segar dan indah. Jika kalian mengizinkan. Menyantap sebungkus nasi beralaskan daun pisang dengan sambal matah.

Puisi Ekspresionis: Pergi Bersamaku

Pikiran-pikiran terlarang itu kembali. Ia gelisah. Mengatakan kalimat ini. Tidak, ia bukan lagi bujang dari kota kecil yang suka pasrah. Aku melangkah mendekati ranjangku, tersentak. Aku tahu detail kesenangan. Itu hanya sibuk mengacak-acak. Lebih baik membaca Al-Qur'an. Keimanan membawaku pergi.  Disaksikan tubuh yang mendesah prihatin. Meninggalkan anak-anak yang masih tidak terkendali. Dulu yang masih bermain.

Puisi Eksperimental: Turun di Bumi

Mungkin ada malaikat yang turun ke bumi. Kami sama-sama terkejut. Aku tak sadar diri. Tiba-tiba saja aku mendengar suara laut. Kami menempuh tiga jam perjalanan dramatik. Seorang duyung cantik tengah menari-nari. Telinga bertindik. Mendengar suaranya saja geli. Di atas segala nya, dia tak ingin menjadi pria kembali. Setelah yakin kemaluannya hilang dari rumah sakit. Nama yang ia sendiri. Terbunuh sedikit demi sedikit.

Puisi Satir: Adam dan Hawa

Pikiran mengambil alih. Pertumbuhan jenius di desa. Tanpa memilih-milih. Sejak Adam dan Hawa. Sebab mereka tidak mampu mengerami telur mereka. Menjadi bodoh dan jahat. Benarkah kau percaya? Daging yang digantungkan di besi berkarat. Tak ada cara lain untuk membuktikannya. Satu pukulan sungguh membuatnya menjadi sehat? Kehidupan yang kacau. Mengapa dia dianggap zaman kegelapan. Pencapaian yang mengagumkan untuk merantau. Semua sebab kebodohan dan tidak ada perubahan.

Puisi Ekspresionis: Rombongan

Aku akan sial sekali jika tersasar ke utara. Risikonya tentu jauh lebih besar dari karnaval dulu. Sementara mereka terpana. Aku tak paham makna tulisan itu. Kami mungkin adalah umpan nasib. Bahkan meskipun itu telah berhari-hari. Pekatik yang ulung telah raib. Mereka menahan kami. Terimalah panggilanku ini. Hujan akan berhenti tak sampai matahari terbenam. Apa yang akan aku temui nanti. Semoga kami dapat bertemu lagi nanti malam.

Puisi Naratif: Harga Pasar

Sebab harga jatuh di pasaran. Karena ini adalah kota kecil. Kami tetap heran. Pagi pulang menjelang sore tanpa hasil. Datang pada pagi buta saat sesuatu disuarakan. Hanya dia yang tidak terguncang. Kembali memperoleh keramahan. Laut gelap terbentang. Sang ahli tidak pernah memedulikan. Sudah dua musim berlalu. Tentang suatu kemungkinan. Cinta yang sangat malu.

Puisi Eksperimental: Fasih Berbicara

Seisi kelas tertawa malu. Pojok. Tempat aku duduk. Kemudian pergi ke kelas lalu. Mustahil bagiku untuk menerobos masuk. Dia lebih banyak dipuji daripada dicinta. Potret dirinya selalu dengan senyum lebar. Dia begitu fasih berbicara. Kamera tersembunyi yang mengawasi bar. Untuk sementara waktu. Aku tak minta apa-apa. Ketika tiba waktunya kita bertemu. Seperti asap yang terbebas di udara.

Puisi Ekspresionis: Malam

Seperti manusia yang terhipnotis. Mengambil gelas berisi limun dingin. Sungguh nyaris. Berbeda dari satu manusia ke manusia lain. Adalah hari tersibuk bagi para negarawan. Mereka menghilang seperti ditelan malam. Diikuti nyanyian lagu-lagu perjuangan. Orang-orang Jepang menganggapnya mati tenggelam. Tak seorangpun berani mendekat. Menenteng senjata penuh ketakutan. Sebagai prajurit profesional merasa dihambat. Rekan itu kehabisan kesabaran.

Puisi Deskriptif: Sang Pemahat

Sebenarnya memang terasa agak panas. Tempat itu sendiri merupakan produk peristiwa kebetulan. Tentang menghubungkan titik-titik adalah kreativitas. Antara kesempatan dan kegeniusan. Lalu ada kalimat.  Belajarlah segera. Keadaan ini teramat-amat. Yang dulu pernah diajarkan padanya. Makhluk yang mati terbunuh. Akan dilemparkan ke dapur oleh sang Pemahat. Meletakkannya di atas meja yang jenuh. Beberapa hari setelah pertemuan singkat.

Puisi Ekspresionis: Bunglon

Sebuah pertemuan yang luar biasa. Ornamen yang berlebihan, dia meyakini. Cara dia berbicara. Merebahkan diri. Wanita anggun itu. Karena sikapnya yang keras kepala. Tidak didapatkan dimana-mana kecuali dirimu. Wanita yang berbeda. Tak jauh dari situ. Aku membidani pikirannya pernikahan. Di ruang tunggu. Ide-ide itu pun mungkin bakal diabaikan di kampung halaman.

Puisi Ekspresionis: Alasan

Kemarahannya tentu saja beralasan. Tak disangka-sangka. Aku sedang memastikan ketersediaan. Kehidupan yang mulia. Kenapa harus marah? Mungkin ada baiknya jika aku diam sejenak. Sehingga riuh menjadi rendah. Dia sedang menyeru kepada jiwa yang berhak. Tak seperti biasanya. Aku memang lebih kuat daripada manusia kebanyakan. Usai bertukar kabar dengan sahabat lama. Teronggok menyedihkan.

Puisi Ekspresionis: Aset yang Terbaik

Tangan yang mengetik-ngetik. Menggunakan bahasa non formal dan tidak baku. Disusun berdasarkan otak-atik. Dengan berseru. Aku melihat rencana tidak jelas yang misterius. Aku menyadari bahwa aset yang terbaik disediakan. Tulisan yang bagus. Seperti sudah menjadi sistem peraturan. Perasaannya menjadi-jadi. Mudah menerima pesan baru. Itu memicu kebangkitan sendiri. Menjuluki keduanya sebesar itu.

Puisi Filosofis: Pesawat Abu-Abu

Bingkai pesawat abu-abu. Tangan yang bersandar pada meja. Tatapan yang penuh risau. Sang penggebuk mata. Masuk atau pergi dengan alasan. Luka yang penuh dengan setetes darah. Mengawali dengan tutup botol di permukaan jalan. Tentu saja bukan jalan yang pasrah. Mencari perhatian. Akan mendapatkan kreativitas. Disusun berdasarkan hasil percobaan. Membuat bahasa baru seperti majas.

Collaboration & Business

✉️: alfinohattainfo@gmail.com 📩: For Business and Collaboration Direct Message on Email Advertising: alfinohattainfo@gmail.com Promotion for brands: alfinohattainfo@gmail.com Collaborations with bloggers or writers: alfinohattainfo@gmail.com Co-branding projects and information support: alfinohattainfo@gmail.com PR: alfinohattainfo@gmail.com Salam, [Alfino Hatta]  DM for Collaboration and Business 

Puisi Politik: Pemimpin Rakyat

Dia pintar. Atau pura-pura pintar. Bagaimana tanggapan anda soal wilayah ini? Dan dia mengucapkan kalimat standar. Terdengar mengutuk yang tidak berbunyi. Sedang masak apakah pemimpin? Padahal ingin sekali bersilaturahmi. Lobster yang aku ingin. Bolehkah berbagi. Hari ini.  Aku bertemu seorang petani tua. Mengutuk harga pupuk yang melambung tinggi. Mereka masih yakin pupuk masih disekap entah dimana. Tentu saja. Mereka boleh jadi sudah pergi. Belum ada. Ah, jika saja semuanya serba teknologi. Sistem keuangan yang terdesentralisasi. Semuanya dapat dimuat. Dengan jelas dan rinci. Juga dapat diamati dan dilihat.

Puisi Politik: Amuk

Salah satu tukang rakyat akhirnya menekan tombol elektronik. Memberikan benda curian itu begitu mudahnya. Detik-detik yang kronik. Bukankah mereka sudah siap dengan rencana? Persis saat mereka berhasil melintasi pintu baja. Loloskan itu! Biarkan itu lolos dengan mudah! Tapi masih ada penjaga yang berjaga-jaga. Amuk! Hanya bersih-bersih dan tinggalkan dengan marah. Bagus. Itu berarti mereka bisa masuk dan pergi. Ada banyak orang hebat dari suku bangsa. Tidak sekalipun dalam imajinasi. Itu bukan uang kecil atau satu-satunya.

Puisi Deskriptif: Belajar

Bagi kaum terpelajar. Perjuangan adalah hal yang dicintai dan dinantikan. Menahan dari segala yang mungkar. Tentang kewajiban pelajar yang telah di jalan. Ada suatu masa. Menetapkan perjuangan yang akan di bahas. Setiap satu abadnya. Dilakukan untuk mencapai unsur fasilitas. Memuat hubungan. Menyumpah dalam hati. Menggunakan kata bilangan. Melakukan tugas dengan hati-hati.

Puisi Deskriptif: Biografi

Orientasi dalam biografi. Cara penyajian diri tokoh dengan kepribadian unggul. Mengidentifikasi diri. Karakter unggul tokoh dalam menyusul: Kewajiban mengerti dunia. Kertas yang telah dirobek tidak dapat diganti. Bergaris dua. Tetapi dapat diperbaiki. Celana ketat juga memiliki urutan orientasi. Masa-masa penuh kebingungan. Tetapi itu semua sudah diisi. Oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan.

Puisi Ekspresionis: Perencanaan yang Baik

Beberapa orang melirik-lirik. Berarti sedang memperhatikan. Juga bisa karena tertarik. Berarti juga bisa sedang merencanakan. Sebagian orang berpendapat bahwa: Kesalahan menatap seseorang ditunjukkan kalimat. Mengapa? Seperti seorang pengamat. Perannya seperti pemangsa. Apa yang harus dilakukan sebelum memperhatikan?  Semakin tinggi ilmunya. Maka terlihat seperti biasa walaupun memiliki segudang keilmuan.

Puisi Ekspresionis: Tentang Ketenangan

Aku meminta maaf atas segala kesalahan. Ada sesuatu yang menahan tenggorokanku. Luar biasa itu tentang ketenangan. Aku dengan segala kemarahanmu. Aku termasuk ke dalam golongan bersalah. Logika apapun akan digunakan untuk menghidupi penyangkalan itu. Beberapa waktu tanpa memberi perintah. Lalu jika terjadi sesuatu. Melangkah meninggalkan. Satu tahun yang penting bagiku. Menatap delapan gundukan. Tidak lagi sering menggangguku dengan itu.

Puisi Politik: Sandiwara Politik

Setelah semua duduk di podium ada orang berbicara. Maka aku pamit pura-pura pipis. Karena tak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Setelah selesai, mereka segera menepis. Penonton musik bisa memakai helm. Sambil meneriakkan nama musisi di panggung. Bicara soal watak umum. Pasti akan membuat suasana canggung. Kejahatan yang nyelip sudah pasti akan menarik perhatian. Penjahat sangat suka menutup diri. Menyiapkan pencitraan adalah salah satu ujian kehidupan. Senang sekali basa-basi.

Puisi Ekspresionis: Orang Intelektual

Orang intelektual tidak akan menyala di dalam kebohongan. Apapun untuk peradaban dunia. Dan gedung pertemuan. Beginilah orang intelektual harusnya bekerja. Kejujuran adalah hal yang berharga. Aku menerangkan peran kebangkitan. Tapi ada harganya: Membela kebebasan, kebenaran, dan keadilan. Dia adalah perwujudan mekarnya zaman keemasan. Kelompok yang toleran. Sekadar keberadaan perbedaan. Hasilnya adalah kejeniusan.

Puisi Alam: Bermuda

Bagaimana aku memutuskan sebuah ide layak di dukung atau tidak? Seperti ciptaan jenius lainnya. Benar-benar tempat mengusik. Mari kita kembali ke Bermuda. Aku memandang waktu sebagai proses siklis. Produk dari waktu dan budaya. Bukan sifat acak dari meteorologis. Melainkan sesuatu yang berusaha. Lagi-lagi misteri dan kerahasiaan. Bukan hanya misteri. Kata itu bukan hanya membingungkan. Memiliki rata-rata pukulan yang lebih tinggi.

Puisi Cinta: Raja Segala Alam

Malam itu juga ia dijatuhkan perintah. Kunjungan itu membuat aku hidup kembali. Mengapa takut? Dia punya maksud nikah. Selalu gugup tidak menentu, aku tidak mengerti. Aku menilainya sebagai orang yang cerdik. Kusadari amat mirip dengan temanku. Diriku tidak ingin terusik. Orang itu. Dalam hal apapun. Aku adalah gambaran sejati pendiam. Mencoba meluruskan anggapan: Seakan-akan aku selalu menjadi raja segala alam.

Puisi Politik: Interogasi

Aku mendengar suara yang tengah diinterogasi. Dia berani mengadu pada pihak luar rumah. Ada yang tiga kali. Dilupakan oleh pemerintah. Mencoba sebisanya untuk sabar menghadapi lonjakan emosinya. Mengapa mereka tidak membunuhnya atau melepasnya sekaligus. Mengapa mereka seperti menyiksa? Tubuh mereka kurus.